Sejarah NU
Latar belakang didirikannya Nahdlatul Ulama.
Setidaknya ada dua faktor yang melatar belakangi berdirinya NU, yaitu:
1- Faktor dalam negeri
Belanda yang
saat itu masih menjajah Indonesia banyak melakukan langkah-langlah yang
mempersempit ruang gerak ummat Islam, untuk mempertahankan kekuasannya di
Indonesia, Belanda telah menjalankan politik kolonialnya di Indonesia
yaitu:
a. Melaksanakan politik “devide et impera” (adu domba).
b. Menipu rakyat dengan teori colonial “white mans’s burden”,
dan mengatakan bahwa kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia adalah untuk
melakukan tugas suci (mission sacree).
c. Menanamkan nilai yang dapat menimbulkan penyakit
“inferiority complex” dikalangan bangsa Indoneia.
Para ulama tidak tinggal diam dengan politik yang dijalankan oleh penjajah ini,
mereka melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda, mereka yakin bahwa
perang melawan penjajah adalah bentuk jihad fisabilillah (berjuang dijalan
Allah) dalam rangka membela tanah air dan mengusir penjajah yang selama ini
banyak menindas dan membuat mereka menderita.
Pada umumnya perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh para ulama didukung oleh
rakyat. Rakyat yang mendukung pada umumnya jama’ah pengajian dari pengajian
yang dipimpin oleh ulama. Dalam pengajian itulah para ulama mengobarkan
semangat jihad. Oleh sebab itu, pada jaman penjajahan Belanda ada beberapa
pengajian yang dicurigai oleh pemerintah Belanda, karena pengajian itu dinilai
oleh Belanda sebagai forum untuk menanamkan kebencian dan perlawanan terhadap
penjajah.
Selain pengajian, ada juga pesantren. Selain tempat menimba ilmu, oleh para
ulama pesantren juga dijadikan tempat membina masyarakat dalam melawan penjajah
Belanda. Akibatnya, banyak pesantren-pesantren yang dicurigai oleh Belanda
sebagai pusat pemberontakan terhadap penjajah Belanda.
Munculnya Nahdlatul Ulama diharapkan dapat menjadi upaya untuk menyatukan
pesantren-pesantren dan para ulamanya dalam membangun kekuatan. NU adalah
organisasi formal yang mendapatkan izin atau status hukum dari pemerintah
Hindia Belanda. Dengan status hukum tersebut, diharapkan para ulama atau
pesantren tidak dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda dengan demikian dakwah
yang dilakukan oleh para ulama dan pesantren tidak dihambat oleh pemerintah
Hindia Belanda. Sebab jika pemerintah Hindia Belanda melakukan tekanan akan
muncul pemberontakan.
2- Faktor luar negeri
faktor lain yang melatarbelakangi berdirinya NU adalah perdebatan seputar sunnah dan bid’ah. Setelah khilafah Turki Utsmani guncang dan akhirnya runtuh kemudian berganti menjadi Republik, Arab Saudi yang sebelumnya dibawah kekuasaan Turki Utsmani berhasil diambil alih oleh Ibnu Sa’ud. Setelah Arab Saudi dibawah kekuasaannya, Ibnu Sa’ud hendak menjadikan faham Wahabi sebagai faham resmi Negara dan ingin menyingkirkan faham-faham keagamaan lain yang berkembang di sana. (Endang turmudzi, dkk., 2004: 5). Kaum Wahabi dengan memanfaatkan keberpihakan penguasa berusaha untuk menghilangkan praktik-praktik keagamaan tertentu yang berkembang pada sebagian ummat Islam, yang menurut mereka tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka menganggapnya sebagai bid’ah, sesuatu diluar agama yang dijadikan bagian dari ajaran agama.
Kaum Wahabi
yang mengambil faham Ibnu Taymiah yang begitu berpihak pada ahli hadits menilai
bahwa praktik-praktik keagamaan sebagian ummat Islam telah bercampur dengan
syirik sehingga perlu dilakukan pemurnian. Perlu diingat bahwa dengan demikian,
kaum Wahabi-pun menyebut dirinya sebagai Ahlussunnah atau kelompok yang
berpegang teguh pada sunnah Nabi Muhammad SAW.
Beberapa tokoh Islam di Indonesia dari kalangan modernis seperti KH. Ahmad
Dahlan (Muhammadiyah) dan HOS. Tjokroaminoto (PSII) menyambut baik gagasan Raja
Abdul ‘Aziz itu dan ingin mengembangkan faham yang sama di Indonesia. Pada
situasi inilah para ulama dari kalangan pesantren (kalangan tradisonal) yang
kemudian menjadi pendiri NU mengemukakan pandangan-pandangan yang menentang ide
tersebut dengan berpegang teguh pada faham Ahlussunnah Waljama’ah.
Praktek-praktek keagamaan yang telah sejak lama berkembang di kalangan ummat
Islam yang hendak dihapus oleh kaum Wahabi dan kelompok-kelompok lainnya yang
sehaluan itu difahami secara berbeda oleh kalangan ulama pesantren. Dalam
melihat masalah tradisi ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. misalnya, ada
pandangan yang sangat berbeda antara kaum Wahabi dengan para ulama pesantren
yang kemudian menjadi pendiri NU.
Berikutnya Ibnu Sa’ud yang telah menjadi raja Kerajaan Arab Saudi mengundang
tokoh Islam Indonesia untuk menghadiri Kongres di Makkah. Untuk menentukan
siapa yang akan menghadiri undangan Raja Ibnu Sa’ud tersebut kemudian dibahas
dalam kongres al Islam ke empat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan
kongres al Islam ke lima di Bandung (5 Februari 1926). Keputusan kedua kongres
tersebut berpihak kepada kelompok modernis, sehingga utusan yang dikirim
berdasarkan hasil keputusan kongres di Bandung adalah H.O.S Cokroaminoto dari
Sarekat Islam dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah.
Keputusan
kongres tadi menyebabkan KH. Wahab Chasbullah dan tiga orang rekannya melakukan
aksi walk out (protes dengan cara meninggalkan ruangan sidang). Pasca kongres
Bandung, KH. Wahab Chasbullah berinisiatif untuk mengadakan musyawarah dengan
ulama-ulama yang sehaluan. Langkah ini memperoleh sambutan dari para ulama
terkemuka diantaranya KH. Hasyim Asy’ari. Akhirnya pada tanggal 31 Januari 1926
M. bertepatan dengan 16 Rajab 1334 H, bertempat di kediaman KH. Wahab
Chasbullah, para ulama mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Bisri Samsuri dari Jombang, KH. Ridwan Abdullah dari Surabaya,
KH. Asnawi dari Kudus, KH. Ma’shum dari Lasem, KH. Nanwawi dari Pasuruan, KH.
Nahrawi dari Malang, KH. Alwi Abdul Aziz dari Surabaya dll. (YSZ, 1994: 142).
Dalam pertemuan tersebut lahir beberapa keputusan penting, antara lain:
Pertama: meresmikan dan mengukuhkan Komite Hijaz. Komite ini terdiri dari KH.
Wahab Chasbullah dan Syekh Ahmad Ghunaim al Mishri. Komite ini bertugas untuk
menghadap langsung Raja Ibnu Sa’ud dalam rangka menyampaikan tuntutan agar
ajaran madzhab empat dan kebebasan untuk melakukan praktek peribadatan lain
dihormati. Delegasi Komite Hijaz ini tidak tergabung dalam delegasi ummat Islam
Indonesia yang diwakili kalangan modernis, akan tetapi langsung menghadap Raja
Ibnu Sa’ud.
Kedua: membentuk sebuah jam’iyah sebagai wadah persatuan para ulama dalam
memimpin ummat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan
kaum muslimin). Jam’iyah ini kemudian diberi nama Nahdltaoel Oelama (NO) dalam
Ejaan Yang Disempurnakan menjadi Nahdlatul Ulama (NU). secara singkat jam’iyah
ini bertujuan untuk membina terwujudnya masyarakat Islam berdasarkan akidah
Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Susunan Pengurus Besar dan Badan Syuriah pertama Nahdlatul Ulama:
Rois al Akbar : KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng Jombang)
Wakil : KH. Dahlan
(Surabaya)
Katib Awal : KH. Abdul Wahab Chasbullah
(Surabaya)
Katib Tsani : KH. Abdul Halim (Cirebon)
A’wan : KH. Alwi Abdul
Aziz, KH. Ridwan, KH. Said,
KH. Bisri Samsuri, KH. Badul Ubeid,
KH. Nahrawi, KH. Amin, KH. Masyuri.
Mustasyar : KH. Raden Asnawi (Kudus), KH. Raden
Hambali (Kudus), KH. Ridwan, Ms. Nawawi,
KH. Doromuntaha, KH. Sj. Genaim al Amir
(al Misri).
Adapun susunan Pengurus Tanfidziyah terdiri dari:
Ketua : H. Hasan Gipo
(Surabaya).
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwiryo
(Pemalang).
Bendahara : M. Burhan.
Pembantu : H. Salih Syamil, H. Ichsan, H. Djafar
Alwan,
H. Usman, H. Achzab, H. Nawawi, H. Dahlan
dan M. Mangun (semuanya dari Surabaya)
Dengan wadah organisasi NU inilah KH. Hasyim Asy’ari (Rois al Akbar)
mengembangkan faham Ahlussunnah Waljama’ah dengan memadukan pandangan ahli
hadits dan ahli ra’yi. Seperti yang digagas oleh Syaikh nawawi al-Bantani dan
Syaikh Mahfudz Termas sebelumnya (Endang Turmudzi, dkk., 2003: 6). Dengan kata
lain, konsep NU tentang Ahlussunnah Waljama’ah tidaklah berupa taklid buta
(mengikuti tradisi lama tanpa alasan) dan bukan pula mendewakan akal pikiran
secara bebas tanpa batas dalam memahami ajaran agama.
Ada dua ciri NU dalam mengembangkan faham Ahlussunnah Waljama’ah yaitu: 1-
keharusan bermazhab dan berpegang pada qaidah fiqhiyah ‘al-muhafazhah ‘ala
al-qadim ash-shaalih wa al-akhdz bi al-jadiid al-ashlah (menjaga sesuatu yang
lama yang masih relevan dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih relevan). 2-
Pentingnya bermazhab dalam mengamalkan agama Islam, menurut NU dikarenakan akan
(lebih) mendekatkan ummat Islam pada kebenaran dan mudah dijangkau.
Dalam Al-Qaanun al-Asaasiy, KH. M. Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa meninggalkan
mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dalam hal fiqih), akan
mengakibatkan kerusakan yang fatal. (Muhith Muzadi, 2003: 125). Dalam Risaalah
ahl as-Sunnah wal-Jamaa’ah , KH. M. Hasyim Asy’ari (1418 H: 14) mengutip
sebuah hadits Nabi Muhammad SAW. yang artinya: “Ummatku tidak mungkin
berkumpul atas kesesatan; dan tangan Allah berada diatas tangan jama’ah; barang
siapa mengucilkan diri (dari mereka), maka ia mengucilkan diri untuk menuju
neraka … ” (HR. at-Tarmidzi). Dalam riwayat Ibnu Majah ada tambahan
redaksi: “… oleh sebab itu, apabila terjadi perselisihan, maka wajib
bagimu untuk mengikuti as-sawaad al-a’zam (pendapat terbanyak)”.
Meski demikian, sesungguhnya mazhab yang benar tidak terbatas pada empat mazhab
itu saja. Ada mazhab-mazhab lain yang menurut sebagian ulama bisa diikuti,
seperti mazhab Sufyan Tsauri ibn Uyainah, mazhab Ishaq ibn Rahuwaih, mazhab
Dawud az-Zahiri dan mazhab al-Awza’i. hanya saja, dalam perkembangannya mazhab-mazhab
tersebut tidak mempunyai sistem sanad yang bisa menghindarkan diri dari
terjadinya kekeliruan akibat tahriif (pemalsuan) dan tabdiil (pengubahan),
sehingga para ulama di kalangan Syafi’iyah bersepakat untuk tidak membolehkan
bermazhab kepada selain empat mazhab itu. (Muhith Muzadi, 2003: 128).
Keharusan berpegang pada tradisi para pendahulu (Rasulullah SAW., para sahabat,
tabi’in dan seterusnya) juga melandasi pemikiran Islam yang dikembangkan Ahmad
ibn Hanbal. Dalam salah satu suratnya yang ditujukan kepada Khalifah
al-Mutawakkil (847-861 M/ 232- 486 H), khalifah setelah al-Waatsiq, ketika
masalah keqadiman dan kemakhlukan al-Qur’an masih ramai diperdebatkan, ia
menulis: “Sesungguhnya tidak hanya satu orang yang meriwayatkan pendapat
orang-orang yang telah mendahului kita, bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah,
bukan makhluk. Merekalah yang berpendapat seperti itu. Sedangkan saya
berpendapat tentang kalam Allah hanya sebagaimana yang digambarkan oleh kitab
Allah dan hadits Nabi, atau oleh para sahabat Beliau juga tabi’in. sungguh
memperdebatkan masalah ini tidak terpuji”. (Muhammad Abu Zahrah: 1996:
183) .
Selanjutnya,
gambaran tentang bagaimana NU berpegang teguh pada prinsip al-muhafazhah ‘ala
a;-qadim ash-ashaalih wa al-akhdz bi al-jadiid al-ashlah bisa terlihat dalam
penjelasan KH. M. Hasyim Asy’ari tentang pengertian bid’ah. Dengan mengutip
penjelasan Abul Baqa’ dalam bukunya al-Kulliyyaat, beliau mengemukakan
pengertian etimologis (bahasa) kata sunnah sebagai “jalan” dan
kebisaaan (tradisi) meskipun tidak disukai. Sedangkan menurut syara’, sunnah
merupakan jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan
oleh Nabi Muhammad SAW. atau tokoh-tokoh agama lainnya, seperti para sahabat
dan tabi’in. (KH. M. Hasyim Asy’ari, 1518 H: 5).
Dari dasar pengertian ini dan dilengkapi dengan inspirasi dari praktek dakwah
Islam di Nusantara yang dilakukan oleh Wali Songo, NU menilai bahwa
praktek-praktek keagamaan seperti ziarah ke makam Rasulullah dan tempat-tempat
tertentu yang memiliki nilai sejarah Islam yang selama ini dilakukan oleh
sebagaian masyarakat muslim, harus dilihat dalam konteks tradisi (kebisaaan),
yang harus dipertimbangkan sisi manfaat dan mudharatnya, sehingga tidak bisa
begitu saja dihilangkan.
Yang perlu dilakukan atas tradisi-tradisi semacam itu adalah bagaiman
memasuklkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Inilah sikap yang diambil oleh Sunan
Kalijaga terhadap tradisi wayang yang berkembang di masyarakat Jawa. Sunan
Kalijaga mampu memerankan diri sebagai “dalang wayang” yang mengganti
nama-nama lakonnya dengan nama-nama yang islami demi cita-cita dakwah Islam.
Dengan demikian, bagi para ulama pendiri NU, apa yang dilakukan oleh kelompok
Wahabi yang hendak menghancurkan tempat-tempat yang dijadikan ziarah oleh
sebagian ummat Islam hanya akan menjadi sumber perpecahan ummat. Sebab, pada
dasarnya Islam datang untuk memberi petunjuk dan menyempurnakan apa yang
terbaik yang ada pada manusia, bukan memberantas habis semua tradisi yanhg
berkembang dalam kehidupan mereka sebagai makhluk berbudaya.
Muqaddimah al-Qaanuun al-Asaasiy yang lebih banyak memberikan tekanan pada
pentingnya persatuan dan tolong menolong di antara sesama ummat Islam, agaknya
juga berpesan bahwa menjaga persatuan adalah lebih baik untuk dipikirkan dan
dilakukan ketimbang melakukan upaya “purifikasi” ajaran Islam seperti
dilakukan kaum Wahabi yang akan menjadi sumber perpecahan di antara kaum
muslimin.
Semangat untuk memberi napas dan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi yang telah
ada dan berkembang di masyarakat ini mendorong sikap dan pendirian NU dalam
melihat Islam sebagai agama penyempurna. NU berpendirian bahwa Islam adalah
agama yang fitri yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah
dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut NU bersifat menyempurnakan
nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu
kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus
nilai-nilai tersebut. (MA. Sahal Mahfudz, 2003: ws. lihat: Naskah Khittah NU,
3. Dasar-Dasar Faham Keagamaan Nahdhatul Ulama, poin c).